Unknown
On Saturday, October 19, 2013
Suarahationline - Semua agama, mengajarkan pentingnya
membantu orang miskin. Hal ini banyak disebut dalam al-Qur’an. “Maka berilah
kepada keluarga yang dekat, orang miskin, dan ibnu sabil akan
hak-haknya.
Yang demikian itu baik bagi
orang-orang yang mengharapkan keridlaan Allah (Ar-Rum ayat 26). Konsep zakat,
sedekah, dan infaq dalam Islam termasuk bagian dari upaya membantu orang
miskin.
Demikian pula agama lain. ‘Kelaparan adalah penyakit yang paling berat,” kata Sang Budha suatu kali, saat menyaksikan orang miskin. Kepada para bikhsu, Budha memberi gambaran tentang orang miskin. “Aku melihat orang itu mempunyai kemampuan untuk mencapai tingkat kesucian”.
Penganut Kristen percaya bahwa hidup
dan karya Yesus adalah untuk membebaskan orang miskin yang terbelenggu dalam
kemiskinan. Percaya kepada Kristus berarti mengikuti pola dan tindakan-Nya
serta memperhatikan sesama manusia tanpa membedakan mereka. Gambaran itu pula
yang terpatri dari puluhan tahun kerja sosial yang dilakukan Bunda Theresia
bukan hanya di Calcutta India, tetapi juga di berbagai belahan dunia.
Konsep bantuan hukum yang kita kenal
sering diasosiasikan dengan orang tidak mampu alias miskin. Konsep ini pula
yang kemudian diakomodir dalamUU No. 16 Tahun 2011tentang Bantuan Hukum.
Penerima bantuan hukum, demikian rumusan Undang-Undang ini, adalah orang atau
kelompok orang miskin. Dengan kata lain, orang miskin adalah sasaran utama
pemberian bantuan hukum.
Bantuan Hukum terhadap orang miskin
acapkali dilakukan secara terorganisir oleh kelompok keagamaan, maka
kelompok dimaksud menjadikan bantuan hukum kepada orang miskin sebagai program
pula.
Bantuan hukum hanya salah satu jenis
bantuan yang diberikan organisasi keagamaan kepada para pengikut, bahkan
dalam beberapa kasus diberikan secara lintas agama. Maka, kita kenal sekarang
beberapa organisasi keagamaan memiliki lembaga bantuan hukum, biro konsultasi
hukum, atau nama lain yang fungsinya sejenis. Bahkan dalam struktur organisasi,
urusan hukum menjadi bagian penting. Misalnya, kita mengenal Lembaga Penyuluhan
dan Bantuan Hukum Nadhdlatul Ulama (LPBH NU), atau Lembaga Bantuan Hukum Budhis.
Ada juga lembaga bantuan hukum yang
tak berafiliasi secara terbuka dengan ormas keagamaan tertentu, tetapi dibentuk
terutama atas dorongan atau spirit keagamaan untuk membantu sesama ummat
manusia, meskipun dalam praktik tak membeda-bedakan klien atas dasar agamanya.
Kita juga mengenal banyak lembaga yang memberikan layanan bantuan hukum sepertiLBH Mawar Saron,
Tim Pembela Muslim, danPaham Indonesia.
Tidak diperoleh catatan resmi sejak
kapan LBH pada organisasi-organisasi keagamaan di Indonesia muncul. Literatur
bantuan hukum selalu memulai riwayat bantuan hukum di Indonesia dari pendirian
LBH pada 1970. Abdurrahman, dalam bukunyaAspek-Aspek Bantuan Hukum di
Indonesia (1980: 51-52) mencatat setelah LBH berdiri, lembaga sejenis
berkembang di daerah.
Setahun setelah pendirian LBH,
diadakan konperensi yang dihadiri 17 LBH, termasuk dari perguruan tinggi. LBH
yang digagas Adnan Buyung Nasution juga terus berkembang, dan kini ada 14 LBH
di bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Andi Najmi Fuadi, Ketua LPBH NU,
mengatakan Pengorganisasi bantuan hukum di lingkungan NU lebih dahulu ada di
daerah sekitar 30 tahun silam, baru kemudian dimasukkan ke dalam struktur
organisasi pusat. Dengan kata lain, pemberian bantuan hukum kepada kaumnahdliyinsudah
dilakukan sebelum LPBH pusat dibentuk.
Abdurrahman – kini hakim agung--
mencatat sejak 1978 ‘terjadi perkembangan yang cukup menarik bagi bantuan hukum
di Indonesia’ seiring munculnya LBH dengan berbagai nama. Ada yang sifatnya
independen, organisasi yang dibentuk organisasi politik atau ormas, ada pula
yang dikaitkan dengan lembaga pendidikan.
Mulyana W. Kusumah, dalam bukunyaBantuan
Hukum dan Pemerataan Keadilan(1983: 1) juga mencatat pada 1983 bahwa ada
peningkatan empat kali lipat jumlah organisasi yang menyelenggarakan bantuan
hukum dibanding sebelum tahun 1978. Ada lima wadah yang dicatat Mulyana, yakni:
(i) LBH yang bernaung di bawah fakultas hukum; (ii) bantuan hukum yang dibentuk
organisasi profesi advokat; (iii) LBH yang dibentuk kekuatan sosial politik
tertentu; (iv) LBH yang dibentuk kelompok-kelompok kepentingan; dan (v)
organisasi bantuan hukum yang dibentuk oleh kelompok sosial tertentu.
Salah satu penyebab menjamurnya
lembaga pemberi bantuan hukum seperti disinggung Abdurrahman dan Mulyana adalah
dukungan finansial yang diberikan baik pemerintah pusat maupun daerah.
Ada plus minus atas kehadiran
lembaga bantuan hukum pada organisasi keagamaan. Abdurrahman mengatakan “kenyataan
semacam itu dapat menimbulkan beberapa kemungkinan, dapat dilihat secara
positif dapat pula dilihat negatif dalam arti dapat menghilangkan atau
menjadikan menyimpangnya ide bantuan hukum dalam praktek”. Namun
salah satu pertanyaan yang diajukan Prof. Soerjono Soekanto (alm), dalam
bukunyaBantuan Hukum, Suatu Tinjauan Sosio Yuridis(1983: 118), apakah
menjamurnya LBH tersebut sebagai bukti bantuan hukum untuk golongan tidak mampu
atau miskin sudah membudaya? “Tidaklah mudah menjawab pertanyaan itu,” tulis
Soerjono.
Penyuluhan hingga litigasi
Memang tidak mudah menjawab apakah
LBH pada organisasi keagamaan efektif atau tidak. Yang jelas, kehadirannya
dibutuhkan masyarakat. Apalagi sebagian besar LBH tersebut menerapkan kebijakan
lintas agama. Penganut agama lain pun boleh dibantu.
Fokus utama LBH keagamaan juga
berbeda. LBH Budhis, kata Ketua lembaga ini, Budiman, masih lebih fokus pada
penyuluhan hukum. Sebagai organisasi yang baru dibentuk, LBH Budhis, belum
menerima permohonan untuk litigasi kasus. “Tapi kalau nanti ada kasus yang
butuh litigasi, ya kita jalani,” kata Budiman kepadahukumonline.
Bantuan Hukum Front, lembaga bantuan
hukum di bawah bendera Front Pembela Islam (FPI) termasuk yang sudah aktif
memberikan advokasi hingga ke pengadilan. Misalnya, ketika mendampingi Bambang
Tedi, Ketua FPI Yogyakarta, yang diproses hukum di PN Yogyakarta,
Februari-April 2012. Ada pula organisasi keagamaan yang tak memiliki struktur
kelembagaan LBH. Kalaupun ada kasus yang menimpa pengurus atau anggota
organisasi, mereka menyerahkan kepada pengacara di luar organisasi. Bahkan ada
yang dibentuk sesuai kebutuhan saja. M.R. Siahaan, mantan Ketua Biro Hukum
Persatuan Gereja Indonesia (PGI) mengatakan pembentukan biro hukum pada 1989
karena saat itu dianggap perlu. Kalau belakangan biro hukum PGI tak ada lagi
‘bisa jadi (karena) dianggap tidak perlu’.
Posisi dalam UU Bantuan Hukum
UU No. 16 Tahun 2011memberikan payung hukum
pemberian bantuan hukum bagi orang miskin. Mulai berlaku sejak 2 November 2011,
UU Bantuan Hukum (UU Bankum) memberi batasan tentang siapa yang berhak menerima
bantuan hukum, dan lembaga mana yang berhak memberi. Batasan ini penting karena
ke depan negara akan menyediakan dana bantuan hukum dalam APBN. Tentu saja,
dana bantuan hukum itutak boleh dipandang sebagai proyek.
Apakah LBH di organisasi keagamaan
termasuk pemberi dana bantuan hukum kepada penerima menurut UU Bankum? Pasal 1
angka 3 menyebutkan Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau
organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan
Undang-Undang ini. Ada dua batasan yang disebut: (i) lembaga bantuan hukum;
atau (ii)organisasi kemasyarakatan atau ormasyang
memberikan layanan bantuan hukum. Syarat ormas telah ditentukan dalam UU No. 8
Tahun 1985.
Agar LBH di organisasi keagamaan
bisa masuk kategori Pemberi Bantuan Hukum, UU Bankum sudah memberikan syarat.
Antara lain harus berbadan hukum, terakreditasi, memiliki kanto atau
sekretariat, memiliki pengurus, dan memiliki program bantuan hukum.
Berdasarkan penelusuranhukumonline,
tak semua divisi hukum di organisasi keagamaan memiliki struktur LBH, dan tak
semua LBH tersebut memiliki kantor khusus atau sekretariat. Layak tidaknya LBH
pada organisasi keagamaan menjadi penerima dana bantuan hukum sangat ditentukan
Tim Verifikasi dan Akreditasi yang dibentuk Kementerian Hukum dan HAM. (DM:
dari berbagai sumber)